Aku
adalah seorang yang study oriented.
Aku
adalah seorang yang sangat akademisi.
Aku
adalah seorang yang pernah memandang sebelah mata, merendahkan bahkan
mencibir para aktivis sekolah.
Aku
adalah seorang yang cuek, tak peduli dengan kondisi sekitar. Hanya memikirkan
kesholihan diri sendiri. Yang penting sholat dan puasa ku jalan, yang penting sudah menutup
aurat, yang penting gak pacaran,
tanpa memikirkan bagaimana pentingnya mengajak orang lain dalam kebaikan.
…………….
Ahhh…itulah
aku! Aku di masa SMA. Mengingat masa-masa itu, ada gurat sedih di hati ini. Aku
masih ingat betapa seorang akhwat berusaha mendekatiku. Kalo istilah kerennya,
“dakwah fardhiyah”.
Ya,
kosa kata yang begitu asing di telinga ku dahulu, tapi kini selalu
terngiang-ngiang dan menjadi sebuah keharusan dalam strategi dakwah. Aku tak
pernah sedikitpun mencurigai pendekatan yang dilakukannya. Yang ku ingat adalah
betapa ia mencoba mengenalkan ku kepada dakwah, mengajakku masuk rohis, mengajakku
untuk bergabung bersamanya dalam ta’lim pekanan. Semua ku tolak dengan banyak
alasan. Selain memang waktu ku habis digunakan untuk sekolah, les, belajar,
sisa waktu ku pun dihabiskan untuk membantu ibu. Masak, ke pasar, beresin
rumah, maklum aku adalah anak perempuan pertama, kakakku adalah seorang laki2
yang gak banyak bisa diajak kerja sama untuk urusan dapur. Ditambah lagi cara
pandang ku terhadap seorang aktivis yang
amat buruk. Di mata ku, aktivis itu adalah sekumpulan orang yang punya prestasi
jelek dibidang akademis. Lihat saja teman2 sekelasku. Mereka adalah orang-orang
yang setiap hari dipanggil karena belum mengerjakan PR (tugas rumah.red), nilai
ulangan harian rendah, atau karena seringnya bolos pengayaan, dan
prestasi-prestasi buruk lainnya. Itu semua menjadikan ku ‘alergi’ & ilfil (ilang filing.red) terhadap
aktivis, bahkan aku menolak tanpa berpikir panjang ketika ada tawaran dari
seorang sahabat untuk mendaftar di rohis.. Ya, aku ilfil terhadap lembaga dakwah, meski bukan lembaga dakwah yg
bersalah.
Sekarang,
dibangku kuliah, aku merasa seperti seorang bayi. Terlahir dengan pemikiran dan
paradigma baru tentang dakwah. Komitmen untuk berubah pasca sekolah begitu
kuat, meski sebelumnya pun banyak keraguan yang menggelayut hati ini. Ragu
karena cita-cita ku menjadi seorang dokter. Tentu saja aku akan kuliah di
fakultas kedokteran yang katanya tiada hari tanpa belajar. “Anak kedokteran itu paling sibuk, sibuk praktikum, sibuk belajar”,
kata seorang teman. “Waktu yg ada saja gak cukup buat belajar, apalagi
kalo kamu sibuk dengan urusan organisasi”, tambahnya lagi. Tapi
Alhamdulillah, meski suara-suara sumbang itu terdengar nyaring, toh Allah Sang Pembolak-balik
hati masih memberikan hidayahNya kepada ku.
………..
Selamat
datang di Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Indonesia. Tulisan itu
menyadarkan ku bahwa cita-cita ku tuk menjadi seorang dokter akan segera
terwujud. Ya, aku berhasil diterima di fakultas ini. FK, boleh dibilang tempat
aku menerima hidayah. Di sinilah aku bertemu dengan orang-orang yang luar
biasa, yang mampu membuatku memahami makna tentang kewajiban berkontribusi,
kewajiban mengajak dan menyeru pada kebaikan, bahwa di dalam diri ini ada hak
orang lain yang harus diberikan. Sampaikanlah walau satu ayat. Begitulah ajakan
mereka.
Hingga
akhirnya aku memutuskan untuk aktif di lembaga dakwah Fakultas kedokteran, yang
bernama CMIA (Center of Medical Islamic Activities). Mulai dari sinilah aku
mengenal Lembaga Dakwah Kampus (LDK) itu sendiri.
Kodisia,
Korps Dakwah Universitas Islam Indonesia, adalah nama LDK di kampusku. Lahir
tahun 1993 dengan berkali-kali berganti nama, membuat LDK ini tampil sebagai sebuah
lembaga dakwah yang cukup mapan, sekaligus membawahi sembilan lembaga dakwah
yang berdiri di masing-masing fakultas. Namun, keberadaan kodisia di bawah
DPPAI (Dewan pembimbing dan Pembina agama Islam) membuatnya tidak mampu
berkembang sesuai usia. Banyak kerikil-kerikil kecil yang membumbui perjalanan
LDK kodisia. Puncaknya adalah saat kepengurusan ku, tahun 2011. Isu besar yang
berkembang di kalangan DPPAI (pihak kampus) adalah bahwa kodisia sudah tidak
murni lagi sebagai lembaga dakwah mahasiswa, karena sudah tercemari oleh partai
politik tertentu yang membawa misi kekuasaan partainya. Salah satu buktinya
adalah baik alumni LDK maupun pengurus saa itu, merupakan orang-orang yang
bekecimpung di kepartaian tertentu, meskipun itu belum bisa dikatakan bukti
yang kuat, tetapi setidaknya mampu mengguncangkan dunia kampus bahkan menjadi
bahan perbincangan khusus di kalangan mahasiswa terutama mahasiswa pergerakan.
Tepat
di Bulan Oktober 2011, kodisia resmi dibubarkan. Keputusan yang sangat berat, namun
kami tak ingin menunggu lama lagi. Walau bagaimana pun, alur dakwah kampus harus
tetap berjalan, dan telah banyak kerja-kerja dakwah yang terlewatkan akibat
masalah ini.
Semua
di awali dg pengunduran diri mas’ul
kodisia periode 2011-2012, akhina Uman Miftah Sajidin. Kami tak tahu tau persis
alasan pengunduran diri tersebut, mungkin saja berkaitan dengan ketidakjelasan
status LDK, sebab sejak 5 bulan yang lalu dinyatakan resmi sebagai ketua dalam
musyawarah besar, kemudian terbentuk calon pengurus, namun belum juga dilantik
secara lembaga oleh pihak kampus, dalam hal ini adalah DPPAI.
Beberapa
hari pasca kemunduran diri sang ketua, ternyata juga diikuti oleh beberapa
calon pengurus yang lain. Tinggalah kami bertiga yang bertahan untuk
melanjutkan perjuangan dakwah ini. Setelah melewati perjuangan panjang,
akhirnya kami menyerah. Ya kami menyerah untuk tidak memperjuangkan kodisia lagi,
tetapi sesungguhnya perjuangan dakwah kami tidak berhenti sampai di sini. Melalui
musyawarah istimewa, kodisia resmi kami tinggalkan. Lalu bersama teman-teman
aktivis lainnya, kami membentuk sebuah forum, sebut saja FSLDF (Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas).
FSLDF dibentuk untuk mengambil fungsi kodisia yang dulu, agar tetap bisa
berkoordinasi dengan lembaga dakwah di fakultas.
Hingga
sekarang, masih banyak pihak yang mengklaim bahwa terlalu dini untuk memutuskan
kodisia keluar dari DPPAI, walau bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang
memiliki visi misi besar, yang tak jauh berbeda dengan LDK, yakni mewujudkan
UII sebagai rahmatan lil ‘alamin. Orang-orang yang tidak membersamai kami di
lapangan boleh berkomentar seperti itu, tetapi sesungguhnya kami yang di
lapanganlah yang lebih paham betpa kami berusaha untuk bersilaturrahim,
mengajak berdiskusi dengan cara yang baik dan sopan, betpa kami
‘mengemis-ngemis’ ke pihak DPPAI agar bersedia meluangkan waktunya untuk duduk
bersama dengan kami, guna memecahkan permasalahan ini. Kami tak digubrisnya
kawan. Kami dicuekin. lalu, apalagi yang ingin dipertimbangkan untuk tetap
bertahan di bawah DPPAI?? It’s enough for
us!!
Itulah
sejarah LDK ku, yang dahulu berdiri kokoh, kini tumbang tak bernama lagi.
Kawan, kami tak berhenti sampai di sini. Kini kami sedang berjuang untuk
mendirikan sebuah LDK baru yang secara struktural berada di Keluarga Mahasiswa
(KM), bersama LEM dan lembaga kemahasiswaan yang lain. Sesungguhnya dakwah itu
tak akan berhenti meskipun wajihah/
washilahnya dibubarkan. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju Roma. Ya,
sangat banyak cara untuk memperjuangkan syurga. Salam semangat dari kami,
aktivis UII. Allahu Akbar!!
Nama
: Fahnida Nazliah
Amanah : - DPO LDF kedokteran
-
Koord. Kaderisasi FSLDF
FB
: Nida nidaa