Pendidikan selalu saja menjadi topik yang sangat menarik untuk terus didengungkan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Negara-negara besar kemajuanya tidak pernah lepas dari yang namanya pendidikan sehingga mampu menjadi sebuah negara yang besar dan maju, kemajuan tersebut dapat diraih tidak lain dan tidak bukan karena penduduknya yang punya intelektual tinggi serta semangat belajar yang tinggi pula, kemudian ditunjang sarana dan prasarana yang mempermudah proses berjalanya sistem pendidikan di negara tersebut.
Lalu
pendidikan di Indonesia seperti apa ??? sangat banyak versi jawaban yang di berikan. Indonesia negara besar dengan berbagai macam kelebihan, secara geografis, budaya, agama dan adat istidatnya merupakan modal besar yang tidak dimiliki negara lain, kelebihan yang dimilki Indonesia harusnya mampu menjadi sebuah sarana untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih besar lagi. Namun kenyataanya itu semua seakan-akan tidak berimbas sama sekali ketika mutu pendidikan masih sangat dipertanyakan kelayakanya. Hari ini banyak orang yang menganggap pendidikan beserta gelar-gelarnya adalah media buat gagahan, sehingga secara keilmuan banyak orang punya gelar tetapi tidak memiliki kepahaman dengan keilmuan yang dia tekuni sehingga mampu meraih gelar yang disematkan didepan atau dibelakang namanya. Tentunya kondisi seperti sangat ironis sekali.
Berbicara pendidikan di Indonesia yang kita cintai ini lebih panjang lagi tentunya akan banyak kisah-kisah menyesakan, sehingga mampu mengurai air mata kita, namun kadang juga masih diselingi sedikit dengan prestasi anak bangsa yang membanggakan, karena mampu menjadi juara olimpiade ditingkat intersnasional, pemenang kontes robot cerdas, ilmuwan yang sukses menemukan penemuan yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan, ya inilah selingan pembuat senyum kecil ditengah-tengah ketragisan pendidikan anak bangsa.
Pengalaman menarik pernah saya alami ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di desa Ujung Tanjung, kecamatan Benai, kabupaten Kuansing, provinsi Riau. Sebuah desa kecil dengan mayoritas penduduk lokal, berada di pinggiran kabupaten Kuansing dengan mata pencarian yang pada umumnya adalah petani karet alam. Pendidikan sepertinya masih manjadi hal yang sangat di kesampingkan, bagaimana tidak untuk yang namanya keperluan kebutuhan lain yang bersifat barang mewah orang pada berlomba-lomba untuk memenuhinya, namun untuk pendidikan terkesan hanya sebagai pelengkap saja, padahal anak-anak didesa tersebut termasuk anak-anak yang cerdas dan memiliki motivasi tinggi untuk belajar, namun karena kondisi lingkungan telah membuat mereka menjadi anak yang seakan-akan hidup di perkotaan dengan segala kelengkapan kemewahanya. Sedangkan untuk perlengkapan penunjang pendidikan yang dimilki secara pribadi maupun disediakan oleh sekolah masih sangat-sangat tidak menunjang untuk yang namanya proses belajar mengajar. Modernisasi secara perlahan-lahan telah membunuh keluguan dan menghilangkan kecerdasan anak-anak didesa ini.
Kondisi ini semua tentunya menjadi sebuah tugas yang amat berat bagi siapa saja para pendidik yang mendapatkan tugas di tempat-tempat seperti ini. Bukan lagi kesederahanaan yang dijumpai, atau semangat belajar yang menggebu yang meningkatkan semangat mengajar bagi pendidik, tetapi yang dihadapi adalah sikap egoisme yang tinggi dan kemalasan yang cukup luar biasa karena ketersedian yang melimpah akan kebutuhan yang diinginkan. Rasanya sungguh sangat terasa sulitnya mengajar dengan kondisi seperti ini, karena niat belajar bukan berasal dari hati sang pelajar, tetapi niat belajar berasal dari sang pengajar. Dengan kondisi ini mungkin kita tidak akan menjumpai seorang anak yang harus mengintip untuk mendapatkan ilmu pelajaran yang diajarkan tetapi tidak bisa sekolah karena kondisi biaya, yang tentu saja membuat hati menjadi merasa teiris dan sedih melihat kondisi seperti ini dinegeri yang kaya raya ini. Namun yang akan kita jumpai adalah kegigihan seorang pendidik yang harus mampu memutus azas keangkuhan dan egoisme yang tumbuh subur akibat tersedianya semua hal yang dibutuhkan, atau juga yang kita jumpai seorang pendidik yang hampir frustasi dengan kondisi yang memang sangat tersa berat beban tugas yang di emban.
Dampak modernisasi telah menciptakan generasi-generasi hedonis sejak dini, yang sangat menambah beban para pendidik, di ruang yang kondisi seperti ini menjadi pendidik bukan lagi orientasinya hanya untuk memperoleh gaji tetapi merupakan panggilan nurani sebagai wujud rasa nasionalisme, yang menjadi cita-cita besar melihat indonesia menjadi negara maju. Rupanya menjadi seorang pendidik bukanlah perkara mudah, karena ada beban moral yang sangat luar biasa beratnya, yang akan terus mengahantui, karena mereka para pendidik sangat sadar bahwa kemajuan bangsa dan negara ini sengat tergantung dengan keberhasilan mereka dalam menghasilkan generasi-generasi intelektual.
Mereka yang manjadi pendidik adalah orang-orang pilihan, yang siap dengan segala kondisi yang akan dihadapi, karena keikhlasan telah menunjukan jalan mulia kepada mereka yang menjadi pendidik. Peradaban untuk masa yang akan datang juga sangat bergantung kepada para pendidik. Itulah mengapa menjadi pendidik itu selalu istimewa.
Muhammad Rokhim
Alumni Sampoerna Best Student Visite (SBSV) 2011