Menyajikan info terkini dunia pendidikan dan berita-berita menarik

Tuesday, March 25, 2014

Kehormatan Di Atas Kehormatan

0 comments
Dr. Saiful Bahri, M.A
Ishmah Addîn Khâtûn
Salah seorang perempuan yang tak banyak disebut sejarah tapi memiliki peran penting dalam masa-masa sulit umat Islam. Perempuan yang pernah mendampingi dua lelaki besar. Dua pahlawan penting. Dua pejuang gagah. Dua tokoh yang diabadikan sejarah. Pertama, Sultan Nuruddin Zanky. Dan setelah beliau wafat Shalahuddin al-Ayyubi menjadi suami keduanya. Dua tokoh penting di balik perseteruan ideologis umat Islam dan tentara salib.
Perempuan ini berada dibalik lelaki bermental baja, Sultan Nuruddin yang telah bersiap dengan menyiapkan mimbar untuk digunakan di Masjid Al-Aqsha, namun hingga dirinya wafat mimpi dan rencana besarnya tersebut tidak juga terwujud di alam nyata. Inilah barangkali yang menjadikan Shalahuddin meminang beliau sekaligus menjaga warisan cita-cita Sultan Nuruddin Zanky untuk menaklukkan Bait al-Maqdis dari tangan tentara salib. Mewujudkan mimpi Sultan Nuruddin juga mimpi istrinya Ishmah Khatun.
Bapaknya, Atabik Mu’inuddin adalah seorang penasehat kerajaan di Damaskus di era pemerintahan Seljuk. Saat negara benar-benar lemah di bawah kepemimpinan Raja Mujiruddin Abeq, Sang Ayah bahkan berperan bak Nizhamul Mulk; Sang Raja yang sesungguhnya.
Ishmah tumbuh dan besar di benteng-benteng Seljuk, hingga keluarga Zanky memerintah. Dididik langsung oleh ayahnya yang pakar politik dan militer menjadikannya tidak seperti kebanyakan perempuan di zamannya. Selain itu pendekatan keluarga Zanky dengan Damaskus juga patut diacungi jempol. Sultan Nuruddin memerankan politik koalisi dan saling menolong serta saling membela sebagai ganti dari penaklukan-penaklukan sesama kaum muslimin. Maka jadilah Damaskus yang kuat, dan dengan sendirinya keluarga Zanky menjadi diterima di sana.
Dialog dan surat menyurat antara Mu’inuddin dan Nuruddin Zanki menjadikan keduanya sangat mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya keduanya pun melanjutkkan hubungan yang sudah baik tersebut dengan semakin memperkuatnya melalui hubungan kekerabatan dan pernikahan. Nuruddin meminang putri Mu’inuddin, Ishmah Addin Khotun.
Beruntunglah sang pejuang yang memiliki seribu obsesi kebaikan tersebut. Ia dipertemukan Allah dengan seorang perempuan tangguh didikan ayahnya yang kuat dan cerdik serta terkenal keshalihannya. Cantik zhahirnya, berakhlak tinggi dan memiliki iffah serta rasa malu yang lebih dari perempuan lainnya.
Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyahnya bahkan secara eksplisit memuji Ishamh Addin Khatun, “Dia termasuk salah satu perempuan tercantik, paling iffah dan pemalu, banyak melayani rakyatnya, berpegang teguh pada ajaran agamanya”. Barangkali ini pula yang kemudian menjadikan Shalahuddin segera meminangnya setelah suami pertamanya, Sultan Nuruddin Zanky wafat dan habis masa iddahnya. Terlebih Abu Syamah al-Maqdisy menjelaskan dalam bukunya “Raudhatain fi Akhbâr An-Nûriyah wa Ash-Shalâhiyyah” bahwa Ishmah semakin rajin bersedekah sepeninggal Sultan Nuruddin. Beliau juga makin banyak berkeliling memenuhi hajat rakyatnya dan rakyat suaminya. Dan Abdul Qadir An-Nu’aimy dalam ad-Dâris fi Târîkh al-Madâris menambah, “… beliau punya kebijakan cerdas, alirkan sedekah-sedekah, menggaji para fuqaha…”
Dalam beberapa kesempatan Ishmah bahkan disebut sebagai seorang pakar fikih perempuan (faqîhah) yang bermadzhab hanafi. Beliau belajar di Madrasah al-Khatuniyah di Damaskus. Beliau bahkan dikenal kemudian sebagai donatur sekaligus inisiator kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut. Dengan semangat reformatifnya sekolah ini juga nantinya menjelma menjadi sekolah penting yang melahirkan banyak ulama madzhab hanafi yang terkenal.
Selain keshalihan dan kecerdasannya, Ishmah Khatun juga dikenal memiliki kesabaran yang luar biasa. Di antara contoh kesabaran beliau adalah, menantikan keturunan dari Sang Sultan Nuruddin yang baru dikarunia keturunan darinya nyaris hampir dua puluh tahun lamanya. Selama mendampingi Sang Sultan, Ishmah –hanya- dikaruniai tiga orang anak. Seorang anaknya meninggal ketika masih bayi, seorang lagi meninggal di usia kanak-kanak. Sehingga kemudian beliau hanya memiliki seorang anak saja dari Sultan Nuruddin bernama Isma’il yang nanti dijuluki dengan al-Malek Ash-Shalih.
Bentuk kesabaran kedua adalah penantian panjangnya untuk menyaksikan langsung penaklukan Masjid al-Aqsha dari tangan tentara salib. Namun Allah berkehendak lain. Ishmah ad-Din Khâtun wafat pada tahun 581 H, sebelum kedua matanya menyaksikan langsung pembebasan al-Aqsha tersebut. Mimpinya sebagaimana mimpi suaminya juga belum terwujud di masa hidupnya.
Ia bawa mimpi pembebasan al-Aqsha bersama ruhnya menjadi saksi obsesi mulia yang dimilikinya yang dititipkan pada suaminya juga umat Islam setelahnya untuk terus melakukan usaha penaklukan dengan gigih dan pantang menyerah. Dan enam tahun setelah wafatnya beliau suaminya yang pemberani dan pakar strategi perang itu berhasil taklukkan kembali Masjid al-Aqsha. Wakili istrinya juga Sultan Nuruddin wujudkan mimpi dan cita-cita. Maka kemudian beliau letakkan mimbar Nuruddin ini ke dalam Masjid al-Aqsha sebagai mimbar utama yang telah disiapkan selama dua puluh tahun sebelum penaklukannya. Dan kemudian menjelma menjadi mimbar utama sampai tahun 1969 M ketika mimbar bersejarah tersebut terbakar bersama terbakarnya Masjid al-Aqsha yang dilakukan oleh orang Zionis Israel.
Berita wafatnya Ishmah Khâtun sendiri dirahasiakan pihak istana. Kabar duka tersebut baru diketahui suaminya, Shalahuddin al-Ayyubi tiga bulan setelahnya.
Perempuan yang menjaga kehormatannya itu telah pergi dengan catatan prestasinya, namun namanya akan terus ada bagi mereka yang mencari tahu sejarah besarnya. Perempuan terhormat yang telah mendampingi orang-orang terhormat yang bergulat dengan sejarah taklukkan keangkuhan dengan kekuatan ilmu, senjata, fisik, mental dan kesatuan umat.
Lahir dan tumbuh di pusat-pusat pengambilan keputusan. Dewasa dan mendampingi aktor-aktor pengambil keputusan penting. Dan kemudian meninggal di balik bilik-bilik pemegang kebijakan super penting. Lahir, tumbuh, berkembang, dewasa, hidup dan bersama di bilik-bilik kepemimpinan.
Mesti namanya tak semoncer kedua suaminya, Ishmah Khâtun adalah orang penting di balik para decision maker di istana Damaskus dan Kerajaan Syam.
Dengan terbiasa di lingkungan istana tak menjadikannya sosok yang angkuh dan sombong. Justru sebaliknya, beliau menjelma dengan segala kerendahan hati dan ketawadhuan serta kezuhudannya. Harta yang melimpah beliau “larikan” untuk pengembangan ilmu, mendukung program-program ahli fikih dan ulama, kemudian mensuply penguatan mental para pasukan muslim yang sedang berjuang melawan tentara salib. Hampir tak ada waktu dan materi yang dinikmati untuk kepentingan pribadinya
Perempuan pemalu itu tak malu-malu untuk menerima pinangan Shalahuddin, sebagaimana ia tak malu menyandang sebutan janda sepeninggal suami pertamanya Sultan Nuruddin. Saat menjanda kegiatan sosial dan keilmuannya malah meningkat dan sedekahnya semankin bervariasi. Dengan menikahi Shalahuddin ia berharap mewujudkan mimpi suaminya, membebaskan tanah suci Bait al-Maqdis dari tangan para salibis.
Meski impian dan cita-citanya untuk shalat di Masjid al-Aqsha tak tercapai, tapi dengan terbebasnya al-Quds oleh Shalahuddin menandakan bahwa Ishmah memiliki sentuhan pantang menyerah untuk sebuah pembebasan bermakna, penaklukan penuh spirit dan kemenangan yang fenomenal di tangan suaminya, dengan pasukan yang jauh lebih sedikit dari jumlah tentara salib yang merupakan aliansi kerajaan di Eropa.
Di samping dua lelaki hebat itu terdapat seorang perempuan hebat… Ishmah Ad-Dîn Khâtun.
Semoga Allah memberkatimu, memberkati keluarga dan keturunanmu, berharap ada lagi perempuan-perempuan tangguh sepertimu yang berani menjadi spirit para lelaki untuk bebaskan negeri yang terjajah dari berbagai dimensi. AlLâhu al-Musta’ân.

No comments:

Post a Comment